Para investor yang merasa kecewa dengan pemulihan lambat China dan kurangnya prospek pertumbuhan yang segar, kini memutar pandangan mereka ke India dan Asia Tenggara untuk peluang investasi. Namun, para ahli memperingatkan bahwa menjelajahi pasar-pasar ini bisa menjadi tantangan, dengan potensi terbatasnya opsi keluar.
Tujuan Favorit Para Investor
India dan Indonesia telah muncul sebagai tujuan favorit bagi investor ekuitas swasta. Dipicu oleh meningkatnya biaya pendanaan akibat suku bunga tinggi dan kekhawatiran yang tumbuh tentang investasi di China di antara para pendukung seperti kantor keluarga dan endowment universitas.
Meskipun tidak ada pergeseran signifikan dalam sentimen investor terhadap China dalam beberapa bulan terakhir, standar untuk investasi di China telah ditingkatkan. Para investor kini mencari kesepakatan di India dan Indonesia yang menawarkan karakteristik pertumbuhan serupa dengan apa yang ditawarkan China sepuluh tahun yang lalu.
Di sektor kesehatan, India telah mengungguli China sebagai pasar terbesar untuk kesepakatan buyout perawatan kesehatan Asia-Pasifik pada tahun 2022. China, meskipun memiliki ketahanan dalam perawatan kesehatan, melihat lebih sedikit kesepakatan buyout dibandingkan dengan India. Bahkan investor di China juga sedang menjelajahi diversifikasi dengan bersaing untuk kesepakatan di Asia Tenggara.
Namun, berinvestasi di Asia Tenggara memiliki tantangan tersendiri, terutama bagi para pemula. Lanskap yang terfragmentasi dan pasar modal yang kurang matang berarti menerapkan model investasi China mungkin tidak menghasilkan hasil yang sama. Skala ekonomi yang lebih kecil dari negara-negara ini juga membatasi ukuran investasi ekuitas, sehingga membuat sulit bagi investor untuk mengalokasikan dana yang substansial.
Pasar Investasi
Masuk ke pasar tanpa catatan dapat menjadi tantangan tersendiri dan sering kali memerlukan pembayaran premi untuk membangun kredibilitas. Mendapatkan kesepakatan eksklusif di Asia Tenggara tanpa tim lokal merupakan hambatan lainnya.
Selain itu, praktik bisnis dan norma yang berbeda dari negara ke negara dapat mempersulit upaya due diligence. Di Vietnam, misalnya, due diligence bisa menjadi tantangan khusus karena catatan selektif dan lingkungan bisnis yang kurang transparan.
Perusahaan ekuitas swasta seperti Silverhorn beralih fokus dari China ke Indonesia, terutama di sektor teknologi keuangan dan e-commerce. Meskipun menjadi pasar keenam terbesar untuk penawaran saham perdana, peluang terbatas bagi investor tahap awal di industri-emerging.
Lanskap geopolitik juga menggantung di atas investasi di Asia, apakah itu di China atau tidak. Pembatasan Washington terhadap investasi swasta AS di bidang terkait China seperti kecerdasan buatan telah mendorong peningkatan upaya due diligence dan kepatuhan, yang meningkatkan biaya.
Meskipun beberapa orang percaya bahwa China menawarkan peluang investasi jangka panjang, saat ini kehati-hatian masih mendominasi. Para investor tidak terburu-buru masuk ke kesepakatan China, melainkan memilih untuk menjelajahi potensi di India dan Asia Tenggara.